Seorang pemuda itu kembali ke meja kerjanya dengan membawa buku notes besar dan notebook. Buku itu sepertinya berisi tentang jadwal pemuda itu dan catatan pemikirannya. Pemuda itu menarik kursi kayu, lalu duduk di atasnya. Ia meletakkan buku notes dan penanya, lalu bersandar pada kursi. Sudah saatnya bekerja. Referensi yang ia dapat sudah cukup. Ia butuh istirahat sejenak, dan mungkin asupan kafein lagi.
Pemuda itu menghela napas, lalu menoleh ke arah kanan. Ke arah jendela tanpa teralis. Jendela berbentuk persegi panjang yang tertutup, sebab saat itu cuaca dingin dan ia tak ingin angin beku menguasai ruang kerjanya. Dari jendela yang kordennya menyibak itu terlihat batang pohon yang tinggal cabangnya. Tidak ada satu daun pun tersisa.
Ada sesuatu yang aneh. Pemuda itu merasa, ada sesuatu yang hilang. Ia tak tahu apa itu yang hilang. Sebab selain ingatannya yang payah, tak ada hal penting yang harus diingat ketika melihat jendela dan pohon cherry blossom itu.
Tetapi...
Hatinya seolah berkata bahwa pemuda itu bodoh karena telah melupakan fakta terpenting dalam hidupnya.
Pemuda itu frustasi. Sebenarnya bayangan-bayangan aneh tentang jendela dan pohon itu sering muncul dalam benaknya. Tetapi ia selelu menganggap lalu hal itu. Bayangan itu muncul lagi, bahkan semakin kuat. Sebenarnya apakah itu?
Tiba-tiba pemuda itu menangis. Sangat aneh. Pria biasanya takkan menangis, hingga sesuatu yang membuat emosinya meletup, seperti terlalu sedih, terlalu, frustasi, ataupun terlalu bahagia, barulah air mata itu keluar. Ya, bukan berarti pria yang menangis itu tidak gentle. Pria juga manusia, ada kalanya ia tak mampu membendung emosi mereka. Tetapi lelaki menangis tak sebanyak wanita, itu lain cerita.
Pemuda itu menangis. Berarti sesuatu yang serius pernah terjadi. Bayangan itu semakin kuat, bagaikan ingatan yang terhapus. Atau mungkin semacam deja vu?
Pemuda itu—lagi-lagi—menghela napasnya, berat. Ya sudahlah. Jika ingatan itu penting, ia tak ingin mengingatnya lagi. Sebab berusaha mengingat hal yang terlupakan itu menyiksa dirinya. Kepalanya pening.
Jika memang ingatan itu penting, mengapa ia bisa lupa? Entahlah. Sebaiknya kita hidup untuk masa depan, bukan masa lalu. Ia yakin, lambat laun ia pasti mengingatnya. Dan jika ia teringat kembali, mungkin ia akan tersenyum mengenang.
Tidak penting apakah itu ingatan baik maupun buruk. Kita tidak perlu terbebani dengan apa yang telah terjadi, pikirnya.
Dan secangkir kopi instan, buku-buku kerjanya, serta notebook tergeletak begitu saja di atas meja kerja. Ia tak jadi menyelesaikan proyeknya hanya karena masalah sepele. Sialan. Ia melangkah malas menuju kamar mandi, berharap semoga mengguyur badannya dengan air dapat menyegarkan diri.
Tiba-tiba, sekelebat ingatan muncul dalam benaknya, semakin mendekat, mendekat, mendekat... dan kini semua jelas.
Lalu ia tersenyum hambar ke arah jendela, “Oh, kau.”
“Kau tak bisa menipuku. Membuatku bingung antara masa kini dan masa lalu yang semu. Tetapi sekarang sudah jelas.” Pemuda itu berdeham.
“Hai pemuda kuyu. Terima kasih karena telah membuatku menjadi diriku yang sekarang.” Pemuda itu melihat sosok ceria yang dulu suka bermain-main di sekitar pohon cherry blossom itu. Anak kecil di balik kaca jendela yang dulunya penakut. Anak kecil yang dulunya tak suka dengan hal baru. Anak kecil yang dulunya merasa... segala keburukan ada pada dirinya. Tetapi ia pribadi yang rajin dan pejerja keras setelah menemukan hal yang sangat klop dan cocok baginya.
Hei, kecil! Terima kasih karena telah membawa pemuda itu ke dunia baru. Yang kini nyaman baginya. Seseorang pernah bilang, kau tak perlu menyesali hal-hal kecil di sekitarmu. Suatu hari, ketika kau telah berjalan jauh, kau akan menengok ke belakang dan menyadari betapa langkah kecil itu membawa perubahan besar bagi dirimu di masa sekarang.
Write by
Isnanda Blog
http://elokisnanda.blogspot.com
http://elokisnanda.blogspot.com
seru aku baca ceritanya
BalasHapus